Lagi-lagi aku terbangun ditengah
tidurku. Aku menyeka keringat dingin yang mengucur di dahiku. Hal ini sudah
berulang kali terjadi padaku sejak 12 tahun lalu, sejak aku
tiba di tempat asing dan aneh ini. Banyak anak kecil lain yang sebaya denganku
yang tidak tahu bagaimana rasanya disayang oleh ayah dan ibunya, bahkan ada
pula yang tidak pernah mengenal wajah ayah dan ibunya. Yah, sudah bisa ditebak,
aku tinggal di panti asuhan yang nota-bene memiliki citra dimana anak-anak yang
tinggal di sini adalah anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Begitu juga denganku,
aku juga seorang anak yang ditinggal orang tua.
Saat itu aku masih berumur 6
tahun. Ayahku sudah meninggal sebelum aku lahir. Alhasil, ibuku menikah lagi 4
tahun kemudian. Pria itu memperlakukan kami –aku dan ibuku- dengan penuh
perhatian. Sebelum menikah dengan ibu, ia selalu datang ke rumah dengan membawa
permen, boneka, dan mainan lain untukku. Setiap hari Minggu, saat ia dan ibu
libur dari aktivitas kantor mereka masing-masing, ia membawa kami ke
tempat-tempat yang indah dan penuh kejutan. Tempat-tempat yang ia tunjukkan
pada kami selalu bisa membuatku merasa bahwa dia tahu segalanya. Ia bisa
membuat ibu tersenyum dan ia selalu memanjakanku. Anak mana yang tidak senang
dimanja oleh orang tuanya, begitu juga aku.
Aku senang bukan kepalang saat
ibuku mengatakan bahwa ia akan menikah dengan Om Zio, bahwa Om Zio akan menjadi
ayah baruku. Berhari-hari aku membayangkan hari-hariku selanjutnya yang penuh
kesenangan, mainan baru setiap hari, rekreasi setiap hari Minggu, dan
kejutan-kejutan lain dari ayah baruku ini; inilah pemikiran seorang gadis kecil
berusia 4 tahun yang sangat lugu.
Hari-hari setelah pernikahan
berjalan seperti apa yang kuharapkan, ayah baruku mengantarku ke TK, membelaku
saat aku berbuat salah, menemaniku mengerjakan tugas sekolah, dan hal-hal lain
yang memanjakanku. Ia tidak pernah memarahiku atau menghukumku, sebaliknya ia
selalu memujiku sebagai anak manis yang baik dan pintar, ayahku adalah sosok
ayah paling sempurna dibanding ayah-ayah lainnya.
Selang satu setengah tahun
kemudian, ayah sempurna yang kukenal perlahan mulai berubah. Sebuah perubahan
yang membuatku takut untuk melihatnya. Ia berubah galak dan tak mempedulikanku.
Sesekali aku mencoba memanggilnya tapi tidak pernah lagi terdengar sahutan
seperti biasanya, lalu aku akan mendekatinya dan duduk di sebelahnya untuk
bermanja-manja, dalam sekejap ia menepis tangan kecilku yang mencoba memintanya
bermain. Ia dan ibu pun mulai sering bertengkar tentang masalah yang tidak
pernah bisa kumengerti. Seiring bertambahnya waktu, aku makin sering melihat
ibu menangis sendirian di meja makan dengan lampu remang-remang di sekitarnya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, apakah aku harus memberi ibu boneka? Ataukah
permen? Atau semua mainanku? Aku hanya berani mengintip dari jauh.
Sampai suatu saat ibu berteriak
pada ayah yang sudah tak kuanggap ayah lagi, “Aku sudah menyerahkan semua uang dan
perusahaanku padamu. Dan sekarang kau mau mengusirku dari rumahku sendiri?!?!”
Lalu aku mendengar pengakuan dari laki-laki itu, “Dari semula aku memang tidak
mencintaimu! Kau pikir aku mau menanggung kau dan anakmu itu seumur hidupku?”
Mendengar perkataan seperti itu, anak kecil sepertiku pun pasti sedih jika tahu
orang yang selama ini dekat dengannya ternyata tidak pernah sayang padanya.
Sejenak aku menatap kosong ibu
yang berlari ke kamarnya diikuti bantingan pintu. Tidak butuh waktu lama untuk
menunggu ibu keluar kembali. Ibu berjalan dan menangkap basah aku yang
menguping di balik dinding dan mengajakku ke kamarku sendiri. Di tangan ibu,
ada tas besar yang dibawanya dari kamar. Aku melihat ke mata ibu dan mendapati
matanya sembab akibat menangis.
Ibu dengan cepat mengeluarkan
beberapa helai bajuku dari lemari dan memasukkannya ke tas koper rodaku lalu
ibu berlutut untuk menyamakan tingginya denganku. Ibu mengajakku untuk pindah
dan pergi dari laki-laki itu sejauh mungkin. Aku mengangguk tanpa mengetahui
permasalahan sebenarnya. Akhirnya ibu dengan tas berisi baju di tangan kirinya
dan koper rodaku di tangan kanannya, sedangkan aku memeluk boneka beruang
berwarna coklat kesayanganku dan tangan kananku merangkul tangan kiri ibu,
berjalan keluar dari rumah kami.
Seharian kami berjalan tanpa
tujuan. Aku yang sejak siang belum makan apapun mulai merengek pada ibu, “Ibu…,
aku lapar. Sampai kapan kita mau berjalan-jalan di sini? Ayo kita pulang.”
“Kita tidak bisa pulang. Ayah
tidak menginginkan kita lagi.”
“Kita minta maaf saja sama ayah.
Lagipula apa ibu tidak lelah berjalan seharian? Memangnya kita mau kemana?”
“Dengarkan ibu, ya. Masalah ini
tidak semudah yang Mimi kira. Ini masalah ibu dan ayah, Mimi tidak perlu ikut
campur, paham? Ayo, Mimi tunggu di sini, ibu akan mencari sesuatu untuk kita
makan.”
“Jangan lama-lama, ya, Bu”
”Ibu akan segera kembali. Ini, kenakan mantel ini, angin malam sangat
dingin.”
Setelah mengenakan mantelnya
padaku, ibu menyebrang jalan dan hilang dari pandangan, meninggalkanku sendirian
di halte bus.
Terlalu lama menunggu membuatku
lelah dan tertidur. Keesokan harinya aku dibangunkan oleh seorang ibu petugas
kebersihan. Dia menanyakan banyak hal padaku, namun yang kuingat hanya ibu. Ibu
tidak kembali membawa makanan ataupun kembali untuk menjemputku. Dalam sekejap,
aku langsung memeluk erat boneka beruangku dan menangis sejadi-jadinya, “Ibu….
Aku mau ibu!”
Beberapa orang yang kebetulan
berada di sekitar halte langsung menghampiri kami. Mereka semua bertanya-tanya
pada ibu petugas tadi. Kemudian seorang ibu paruh baya mendekat, “Anak manis,
siapa namamu? Ibu kamu mana?”
Mendengarnya menanyakan
keberadaan ibu membuatku semakin histeris. Akhirnya dia membawaku untuk membuat
laporan anak hilang di kantor polisi dan mengajakku ke panti asuhan tempatnya
bekerja. Beliau berjanji akan menitipkanku di sana sampai ibu datang
menjemputku. Di tempat ini aku melewati waktuku, dan sikapku juga mulai labil.
Kadang aku bisa sangat aktif, dan kadang tiba-tiba aku berubah murung. Hal ini
sering terjadi pada anak-anak panti asuhan terutama anak-anak yang mulai
tinggal di panti saat usianya di atas 4 tahun karena mereka benar-benar
merasakan kehidupan mereka yang berubah dari punya orang tua menjadi tidak
punya orang tua.
Hari berganti bulan, bulan
berganti tahun, namun belum ada kabar dari ibu. Aku mulai masuk SD lalu lanjut
ke SMP dan akhirnya aku lulus SMA. Selama kami sekolah, semua uang sekolah
ditanggung pihak donatur. Tanggung jawab mereka habis setelah kami lulus dari
SMA.
Minggu depan, waktuku di panti
ini akan berakhir. Aku dan beberapa teman sebayaku harus pindah dari panti dan
mulai menghidupi diri kami sendiri. Kami sudah mendapat pekerjaan dan sepakat
untuk tinggal di tempat yang sama agar bisa saling menjaga.
Waktu setahun berjalan dengan cepat.
Kehidupan kami sudah mulai stabil. Pekerjaan semakin banyak, masalah kehidupan
mulai bermunculan, dan aku sendiri mulai mengerti dunia luar. Tanpa sengaja aku
terpikirkan Om Zio –mantan ayahku-. Sekarang aku mengerti permasalahan dia dan
ibuku dulu. Dia berpura-pura baik pada kami, dan ternyata semua itu ia lakukan
demi mendapatkan seluruh harta warisan ayah asliku pada ibu. Bicara tentang
ibu, sekarang aku sedang duduk di halte tempatku kehilangan ibu. Yah, selama
ini, aku terus berkata pada diriku sendiri bahwa ibu tidak meninggalkanku,
hanya saja pasti terjadi sesuatu yang membuat ibu tidak datang menjemputku.
Minggu-minggu belakangan, aku
menyempatkan diri untuk mampir ke halte ini sepulang kantor. Dengan mengenakan
mantel merah ibu yang sekarang sudah pas dengan ukuran tubuhku, aku akan duduk
beberapa jam di sini, berharap ibu akan lewat atau mungkin datang mencariku,
dan dengan mantel merah ini ibu akan dengan mudah mengenaliku. Aku juga sudah
memberikan alamat baruku pada pihak kantor polisi dulu.
Besok adalah hari Minggu. Aku
berencana untuk mencari TK tempatku sekolah dan mencari tahu alamat rumahku.
Aku akan mencari Om Zio dan mungkin dia tahu keberadaan ibu sekarang. Ini
adalah satu-satunya cara untuk kembali bertemu dengan ibu.
Setelah bertanya dan mencari ke
beberapa tempat, akhirnya aku menemukan TK itu. Mendengar ceritaku, pihak
sekolah menaruh empati dan bersedia membantuku, tetapi butuh waktu lama untuk
menemukan data-data siswa 14 tahun lalu. Tiga hari berselang, aku mendapat
kabar dari pihak sekolah. Mereka telah menemukan data tersebut dan
memberikannya padaku.
Keesokan harinya aku mengambil
cuti beberapa dari kantor untuk mencari alamat itu. Sepanjang perjalanan, aku
terus memikirkan ibu. Sekujur tubuhku terasa dingin, aku takut untuk bertemu Om
Zio. Sesampainya di sana, aku menemui satpam penjaga rumah mewah itu. Betapa
terkejut dan kecewanya aku saat tahu ternyata Om Zio sudah pindah dari rumah
itu. Dingin tubuhku berubah panas, pupus semua harapan untuk bertemu ibu.
Aku pulang tanpa hasil. Aku
menangis kecewa. Semuanya sudah di depan mata, tapi mengapa semua berbalik
lagi? Di tengah tangisanku, aku terbayang oleh tas pakaian ibu. Aku segera
membongkar lemariku untuk menemukannya. Aku mendapati sebuah buku agenda di
dalamnya. Aku mencari-cari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk untuk mencari
ibu. Tak lama kemudian, aku mendapatkan beberapa lembar kartu nama. Di sana
tertera nama ibu dan sebuah alamat. Tanpa berpikir panjang, aku langsung
melesat ke tempat itu.
Alamat yang tertera di kartu nama
adalah alamat sebuah gedung perkantoran. Gedung itu menjulang tinggi tanpa bisa
dihitung tingkatannya jika hanya dilihat dari luarnya. Aku melangkahkan kakiku
memasuki gedung tersebut dan mendapati sebuah meja resepsionis sejurus dengan
pintu masuk. Aku mencocokkan nama perusahaan yang tertera di kartu dengan
tulisan yang ada di dinding belakang meja resepsionis. Berbeda.
Aku memastikan nama perusahaan
tempatku berada sekarang pada seorang resepsionis. Ia menyebutkan nama yang
sama dengan nama yang ada di dinding itu. Lalu aku kembali menanyakan
alamatnya, dan ia menyebutkan alamat yang sama dengan yang tertera di kartu.
Tak mau berpikir terlalu banyak, aku menyodorkan kartu nama yang sedari tadi
kupegang padanya. Ia terlihat bingung dan menyerahkan kartu tersebut pada
seorang lagi yang lebih senior.
“Selamat siang. Ada yang bisa
saya bantu?
“Iya, Pak. Saya lagi mencari Ibu Agnes.
Dan alamat ini petunjuk saya satu-satunya.”
“Ooo…, iya, Mbak. Kantor ini
memang di sini. Tapi Ibu Agnes sudah tidak di sini lagi.”
“Jadi benar ini kantornya? Lalu
kenapa nama perusahaannya beda?”
“Dua-belas tahun yang lalu, Ibu
Agnes mengalihkan kepemimpinan perusahaan. Dan setahun kemudian, perusahaan
mengalami pergantian sistem termasuk namanya, Mbak.”
“Maksud Bapak, ada pemimpin baru
di perusahaan?”
“Iya, Mbak. CEO kami sekarang
adalah Pak Zio.”
“Pak Zio? Lalu Ibu Agnes?”
“Kalau tentang Ibu Agnes kami
kurang tahu, tapi setahu saya, setelah menikah Ibu Agnes memberikan semua kuasa
pada Bapak Zio. Ibu Agnes sendiri sudah tidak pernah datang untuk mengurus
masalah perusahaan lagi.”
Semua penjelasannya membuatku syok. Om Zio benar-benar kejam. Dia
memaksa ibu untuk menyerahkan semuanya dan mengusir kami dari rumah. Dia bahkan
menghapus semua bayang-bayang ibu dari kantor ini.
Pikiranku kosong. Tanpa kusadari,
kakiku terus melangkah hingga akhirnya aku tersadar saat aku berada di depan
halte kenanganku. Aku harus menemui Om Zio. Aku harus menanyakan keberadaan
ibu. Atau jangan-jangan dia yang sengaja memisahkan aku dari ibu.
Keesokan harinya aku kembali ke
perusahaan untuk meminta alamat Om Zio. Tak satupun karyawan yang mengetahui
alamat pasti Om Zio. Aku terpaksa menunggu di depan gedung kantor sampai Om Zio
pulang.
Saat langit mulai gelap, aku
melihat Om Zio keluar. Aku memanggilnya dari jauh, ia sempat melihatku, namun
ia kembali mengabaikanku dan langsung menaiki sebuah sedan hitam yang sudah
menunggu. Aku menyetop taksi dan meminta supir taksi untuk mengikuti mobil Om
Zio.
Tak sampai 20 menit, mobil Om Zio
berhenti di sebuah rumah mewah. Aku turun dari taksi dan kembali memanggilnya.
Kali ini walaupun terlihat agak bingung, ia membalas. Ia menanyakan keperluanku,
tampaknya ia sama sekali tidak mengenaliku. Wajahnya sedikit berbeda dari
ingatan terakhirku. Aku kembali menyapanya dengan panggilan lain.
“Ayah, ibu mana?”
Ia berhenti sejenak lalu raut
wajah dan nada bicaranya berubah.
“Mimi? Bagaimana…? Untuk apa kamu
mencari saya?! Fadil, usir perempuan!”
Seseorang berpakaian satpam
datang menghampiriku dan memintaku pergi. Aku menolak dan berbalik mengejar Om
Zio. Aku menarik lengannya, ia menepisku, dan aku terjatuh. Satpam tadi tidak
berani mendekat. Aku meraih kaki Om Zio, aku berlutut di sampingnya.
“Om…, ibu mana?”
“Arghh…, minggir kamu! Ibumu itu
tidak berguna. Pergi kamu! Ibu dan anak sama saja. Maunya bikin susah! Fadil!”
Ia mendorongku kuat. Aku kembali
terjatuh. Satpam yang bernama Fadil itu langsung membantuku berdiri dan
menarikku menjauhi majikannya.
“Fadil! Usir dia sejauh mungkin.
Saya tidak mau melihat dia di sekitar sini. Mengerti!”
“Iya, Tuan.”
“Om! Om Zio kejam! Om udah ngambil semua dari
ibu! Om ngusir kami dari rumah kami sendiri! Bertahun-tahun aku tinggal di
panti gara-gara Om! Sekarang Om juga mau pisahin aku sama ibu?!?! Om!!!”
Setelah berhasil menarikku
keluar, satpam itu dengan segera menutup pagar dan menguncinya.
Aku kembali lagi pagi keesokan
harinya, aku diusir oleh satpam penjaga rumah. Aku pergi ke kantornya, Om Zio
juga sudah menyuruh penjaga di sana untuk tidak membiarkanku masuk. Esoknya,
aku kembali mencoba menemui Om Zio, namun lagi-lagi aku diusir. Hal yang sama
terjadi padaku selama empat hari berturu-turut.
Sampai hari kelima, atas bantuan temanku,
Ratna, aku berhasil menemuinya di depan kantor. Om Zio juga tampak pasrah dengan
perbuatanku.
“Apa maumu?”
“Aku mau bertemu ibu?”
Dia tertawa sinis.
“Untuk apa mencari ibumu? Kau
sudah lama tak bertemu dengannya.”
“Maka itu…”
“Ibumu sudah lama mati.”
“Apa? Ibu meninggal? Tapi kenapa,
Om?”
“Pada malam kalian meninggalkan
rumah, dia kecelakaan. Dia tertabrak mobil saat menyebrang jalan. Hehh…, anak
macam apa kamu? Ibumu kecelakaan, kau tidak tahu?”
“Ak…”
“Dua hari kemudian, pihak
kepolisian mengantar ibumu pulang. Dia tidak mengenal siapapun. Dia cacat.
Pendarahan otak. Om masih harus membayar orang untuk menjaganya. Ibumu
benar-benar membuat orang susah. Enam tahun lalu, ibumu mati. Bayangkan berapa
banyak uang yang harus Om keluarkan untuk perawatan ibumu?!”
“Om! Semua uang yang Om pakai
itu, uang ibu! Ingat Om! Om masih bisa menikmati lebih dari itu dan Om bilang
ibu udah nyusahin Om?”
“Ibumu sudah mati. Dan sekarang kamu datang untuk menyusahkan Om
lagi? Apa mau kamu? Uang?”
“Mimi nggak minta apapun. Karena
dulu ibu percaya sama Om, semuanya Om ambil! Semua kepunyaan ibu, jatuh ke
tangan kotor Om. Mimi cuma pengen tahu keadaan ibu. Mimi cuma punya ini Om.
Mantel satu-satunya dari ibu, yang ibu kasih langsung ke Mimi. Itu pun udah
lebih dari cukup.”
“Lalu apa? Kamu juga mau jadi
parasit seperti ibu kamu?”
Om Zio pergi meninggalkan aku dan
Ratna dan naik ke mobilnya. Aku hendak mengejarnya, tapi Ratna mencegahku.
“Sudahlah. Bahkan untuk jadi
peliharaanku saja, kalian tidak pantas!”
Kata-kata terakhirnya membuatku
putus asa. Dia sudah keterlaluan. Aku menepis cegatan Ratna untuk kembali
mengejarnya. Tiba-tiba dari arah kananku
datang sebuah mobil yang mengebut dari area parkir. Dalam sekejap aku
terpelanting, tertabrak, oleh mobil itu. Aku merasakan kepalaku menghantam
aspal. Sakit sekali. Sakitnya lebih dari ketika aku tahu harus menerima kenyataan bahwa aku harus tinggal di
panti. Atau
mungkin sama dengan sakit ketika lelaki brengsek itu mengatakan bahwa aku dan
ibu bahkan tidak pantas untuk jadi peliharaannya.
Aku mendengar suara Ratna yang
berteriak minta tolong. Mataku mulai kabur, perlahan menjadi gelap. Aku takut.
Aku menggenggam erat mantel merah ibu. Ibu, aku takut. Gelap mulai menjadi
hitam.
Ibu, aku akan segera menyusul ibu. Kita akan bersama lagi. Om
Zio tidak akan bisa mengganggu kita. Kita akan hidup bahagia selamanya. Aku
tahu ibu tidak meninggalkanku, setidaknya itu benar. Hari-hariku tanpa ibu
berhasil kulalui. Aku sudah menjadi putri yang baik selama ibu tidak di sisiku.
Sudah saatnya aku datang pada ibu untuk mendapat pujian. Aku sungguh rindu ibu.
Ibu, tunggu aku di sana.