Friday, March 7, 2014

Mantel Merah


Lagi-lagi aku terbangun ditengah tidurku. Aku menyeka keringat dingin yang mengucur di dahiku. Hal ini sudah berulang kali terjadi padaku sejak 12 tahun lalu, sejak aku tiba di tempat asing dan aneh ini. Banyak anak kecil lain yang sebaya denganku yang tidak tahu bagaimana rasanya disayang oleh ayah dan ibunya, bahkan ada pula yang tidak pernah mengenal wajah ayah dan ibunya. Yah, sudah bisa ditebak, aku tinggal di panti asuhan yang nota-bene memiliki citra dimana anak-anak yang tinggal di sini adalah anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Begitu juga denganku, aku juga seorang anak yang ditinggal orang tua.
Saat itu aku masih berumur 6 tahun. Ayahku sudah meninggal sebelum aku lahir. Alhasil, ibuku menikah lagi 4 tahun kemudian. Pria itu memperlakukan kami –aku dan ibuku- dengan penuh perhatian. Sebelum menikah dengan ibu, ia selalu datang ke rumah dengan membawa permen, boneka, dan mainan lain untukku. Setiap hari Minggu, saat ia dan ibu libur dari aktivitas kantor mereka masing-masing, ia membawa kami ke tempat-tempat yang indah dan penuh kejutan. Tempat-tempat yang ia tunjukkan pada kami selalu bisa membuatku merasa bahwa dia tahu segalanya. Ia bisa membuat ibu tersenyum dan ia selalu memanjakanku. Anak mana yang tidak senang dimanja oleh orang tuanya, begitu juga aku.
Aku senang bukan kepalang saat ibuku mengatakan bahwa ia akan menikah dengan Om Zio, bahwa Om Zio akan menjadi ayah baruku. Berhari-hari aku membayangkan hari-hariku selanjutnya yang penuh kesenangan, mainan baru setiap hari, rekreasi setiap hari Minggu, dan kejutan-kejutan lain dari ayah baruku ini; inilah pemikiran seorang gadis kecil berusia 4 tahun yang sangat lugu.
Hari-hari setelah pernikahan berjalan seperti apa yang kuharapkan, ayah baruku mengantarku ke TK, membelaku saat aku berbuat salah, menemaniku mengerjakan tugas sekolah, dan hal-hal lain yang memanjakanku. Ia tidak pernah memarahiku atau menghukumku, sebaliknya ia selalu memujiku sebagai anak manis yang baik dan pintar, ayahku adalah sosok ayah paling sempurna dibanding ayah-ayah lainnya.
Selang satu setengah tahun kemudian, ayah sempurna yang kukenal perlahan mulai berubah. Sebuah perubahan yang membuatku takut untuk melihatnya. Ia berubah galak dan tak mempedulikanku. Sesekali aku mencoba memanggilnya tapi tidak pernah lagi terdengar sahutan seperti biasanya, lalu aku akan mendekatinya dan duduk di sebelahnya untuk bermanja-manja, dalam sekejap ia menepis tangan kecilku yang mencoba memintanya bermain. Ia dan ibu pun mulai sering bertengkar tentang masalah yang tidak pernah bisa kumengerti. Seiring bertambahnya waktu, aku makin sering melihat ibu menangis sendirian di meja makan dengan lampu remang-remang di sekitarnya. Aku tidak tahu harus berbuat apa, apakah aku harus memberi ibu boneka? Ataukah permen? Atau semua mainanku? Aku hanya berani mengintip dari jauh.
Sampai suatu saat ibu berteriak pada ayah yang sudah tak kuanggap ayah lagi, “Aku sudah menyerahkan semua uang dan perusahaanku padamu. Dan sekarang kau mau mengusirku dari rumahku sendiri?!?!” Lalu aku mendengar pengakuan dari laki-laki itu, “Dari semula aku memang tidak mencintaimu! Kau pikir aku mau menanggung kau dan anakmu itu seumur hidupku?” Mendengar perkataan seperti itu, anak kecil sepertiku pun pasti sedih jika tahu orang yang selama ini dekat dengannya ternyata tidak pernah sayang padanya.
Sejenak aku menatap kosong ibu yang berlari ke kamarnya diikuti bantingan pintu. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu ibu keluar kembali. Ibu berjalan dan menangkap basah aku yang menguping di balik dinding dan mengajakku ke kamarku sendiri. Di tangan ibu, ada tas besar yang dibawanya dari kamar. Aku melihat ke mata ibu dan mendapati matanya sembab akibat menangis.
Ibu dengan cepat mengeluarkan beberapa helai bajuku dari lemari dan memasukkannya ke tas koper rodaku lalu ibu berlutut untuk menyamakan tingginya denganku. Ibu mengajakku untuk pindah dan pergi dari laki-laki itu sejauh mungkin. Aku mengangguk tanpa mengetahui permasalahan sebenarnya. Akhirnya ibu dengan tas berisi baju di tangan kirinya dan koper rodaku di tangan kanannya, sedangkan aku memeluk boneka beruang berwarna coklat kesayanganku dan tangan kananku merangkul tangan kiri ibu, berjalan keluar dari rumah kami.
Seharian kami berjalan tanpa tujuan. Aku yang sejak siang belum makan apapun mulai merengek pada ibu, “Ibu…, aku lapar. Sampai kapan kita mau berjalan-jalan di sini? Ayo kita pulang.”
“Kita tidak bisa pulang. Ayah tidak menginginkan kita lagi.”
“Kita minta maaf saja sama ayah. Lagipula apa ibu tidak lelah berjalan seharian? Memangnya kita mau kemana?”
“Dengarkan ibu, ya. Masalah ini tidak semudah yang Mimi kira. Ini masalah ibu dan ayah, Mimi tidak perlu ikut campur, paham? Ayo, Mimi tunggu di sini, ibu akan mencari sesuatu untuk kita makan.”
“Jangan lama-lama, ya, Bu”
”Ibu akan segera kembali.  Ini, kenakan mantel ini, angin malam sangat dingin.”
Setelah mengenakan mantelnya padaku, ibu menyebrang jalan dan hilang dari pandangan, meninggalkanku sendirian di halte bus.
Terlalu lama menunggu membuatku lelah dan tertidur. Keesokan harinya aku dibangunkan oleh seorang ibu petugas kebersihan. Dia menanyakan banyak hal padaku, namun yang kuingat hanya ibu. Ibu tidak kembali membawa makanan ataupun kembali untuk menjemputku. Dalam sekejap, aku langsung memeluk erat boneka beruangku dan menangis sejadi-jadinya, “Ibu…. Aku mau ibu!”
Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar halte langsung menghampiri kami. Mereka semua bertanya-tanya pada ibu petugas tadi. Kemudian seorang ibu paruh baya mendekat, “Anak manis, siapa namamu? Ibu kamu mana?”
Mendengarnya menanyakan keberadaan ibu membuatku semakin histeris. Akhirnya dia membawaku untuk membuat laporan anak hilang di kantor polisi dan mengajakku ke panti asuhan tempatnya bekerja. Beliau berjanji akan menitipkanku di sana sampai ibu datang menjemputku. Di tempat ini aku melewati waktuku, dan sikapku juga mulai labil. Kadang aku bisa sangat aktif, dan kadang tiba-tiba aku berubah murung. Hal ini sering terjadi pada anak-anak panti asuhan terutama anak-anak yang mulai tinggal di panti saat usianya di atas 4 tahun karena mereka benar-benar merasakan kehidupan mereka yang berubah dari punya orang tua menjadi tidak punya orang tua.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, namun belum ada kabar dari ibu. Aku mulai masuk SD lalu lanjut ke SMP dan akhirnya aku lulus SMA. Selama kami sekolah, semua uang sekolah ditanggung pihak donatur. Tanggung jawab mereka habis setelah kami lulus dari SMA.
Minggu depan, waktuku di panti ini akan berakhir. Aku dan beberapa teman sebayaku harus pindah dari panti dan mulai menghidupi diri kami sendiri. Kami sudah mendapat pekerjaan dan sepakat untuk tinggal di tempat yang sama agar bisa saling menjaga.
Waktu setahun berjalan dengan cepat. Kehidupan kami sudah mulai stabil. Pekerjaan semakin banyak, masalah kehidupan mulai bermunculan, dan aku sendiri mulai mengerti dunia luar. Tanpa sengaja aku terpikirkan Om Zio –mantan ayahku-. Sekarang aku mengerti permasalahan dia dan ibuku dulu. Dia berpura-pura baik pada kami, dan ternyata semua itu ia lakukan demi mendapatkan seluruh harta warisan ayah asliku pada ibu. Bicara tentang ibu, sekarang aku sedang duduk di halte tempatku kehilangan ibu. Yah, selama ini, aku terus berkata pada diriku sendiri bahwa ibu tidak meninggalkanku, hanya saja pasti terjadi sesuatu yang membuat ibu tidak datang menjemputku.
Minggu-minggu belakangan, aku menyempatkan diri untuk mampir ke halte ini sepulang kantor. Dengan mengenakan mantel merah ibu yang sekarang sudah pas dengan ukuran tubuhku, aku akan duduk beberapa jam di sini, berharap ibu akan lewat atau mungkin datang mencariku, dan dengan mantel merah ini ibu akan dengan mudah mengenaliku. Aku juga sudah memberikan alamat baruku pada pihak kantor polisi dulu.
Besok adalah hari Minggu. Aku berencana untuk mencari TK tempatku sekolah dan mencari tahu alamat rumahku. Aku akan mencari Om Zio dan mungkin dia tahu keberadaan ibu sekarang. Ini adalah satu-satunya cara untuk kembali bertemu dengan ibu.
Setelah bertanya dan mencari ke beberapa tempat, akhirnya aku menemukan TK itu. Mendengar ceritaku, pihak sekolah menaruh empati dan bersedia membantuku, tetapi butuh waktu lama untuk menemukan data-data siswa 14 tahun lalu. Tiga hari berselang, aku mendapat kabar dari pihak sekolah. Mereka telah menemukan data tersebut dan memberikannya padaku.
Keesokan harinya aku mengambil cuti beberapa dari kantor untuk mencari alamat itu. Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan ibu. Sekujur tubuhku terasa dingin, aku takut untuk bertemu Om Zio. Sesampainya di sana, aku menemui satpam penjaga rumah mewah itu. Betapa terkejut dan kecewanya aku saat tahu ternyata Om Zio sudah pindah dari rumah itu. Dingin tubuhku berubah panas, pupus semua harapan untuk bertemu ibu.
Aku pulang tanpa hasil. Aku menangis kecewa. Semuanya sudah di depan mata, tapi mengapa semua berbalik lagi? Di tengah tangisanku, aku terbayang oleh tas pakaian ibu. Aku segera membongkar lemariku untuk menemukannya. Aku mendapati sebuah buku agenda di dalamnya. Aku mencari-cari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk untuk mencari ibu. Tak lama kemudian, aku mendapatkan beberapa lembar kartu nama. Di sana tertera nama ibu dan sebuah alamat. Tanpa berpikir panjang, aku langsung melesat ke tempat itu.
Alamat yang tertera di kartu nama adalah alamat sebuah gedung perkantoran. Gedung itu menjulang tinggi tanpa bisa dihitung tingkatannya jika hanya dilihat dari luarnya. Aku melangkahkan kakiku memasuki gedung tersebut dan mendapati sebuah meja resepsionis sejurus dengan pintu masuk. Aku mencocokkan nama perusahaan yang tertera di kartu dengan tulisan yang ada di dinding belakang meja resepsionis. Berbeda.
Aku memastikan nama perusahaan tempatku berada sekarang pada seorang resepsionis. Ia menyebutkan nama yang sama dengan nama yang ada di dinding itu. Lalu aku kembali menanyakan alamatnya, dan ia menyebutkan alamat yang sama dengan yang tertera di kartu. Tak mau berpikir terlalu banyak, aku menyodorkan kartu nama yang sedari tadi kupegang padanya. Ia terlihat bingung dan menyerahkan kartu tersebut pada seorang lagi yang lebih senior.
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?
“Iya, Pak. Saya lagi mencari Ibu Agnes. Dan alamat ini petunjuk saya satu-satunya.”
“Ooo…, iya, Mbak. Kantor ini memang di sini. Tapi Ibu Agnes sudah tidak di sini lagi.”
“Jadi benar ini kantornya? Lalu kenapa nama perusahaannya beda?”
“Dua-belas tahun yang lalu, Ibu Agnes mengalihkan kepemimpinan perusahaan. Dan setahun kemudian, perusahaan mengalami pergantian sistem termasuk namanya, Mbak.”
“Maksud Bapak, ada pemimpin baru di perusahaan?”
“Iya, Mbak. CEO kami sekarang adalah Pak Zio.”
“Pak Zio? Lalu Ibu Agnes?”
“Kalau tentang Ibu Agnes kami kurang tahu, tapi setahu saya, setelah menikah Ibu Agnes memberikan semua kuasa pada Bapak Zio. Ibu Agnes sendiri sudah tidak pernah datang untuk mengurus masalah perusahaan lagi.”
Semua penjelasannya membuatku syok. Om Zio benar-benar kejam. Dia memaksa ibu untuk menyerahkan semuanya dan mengusir kami dari rumah. Dia bahkan menghapus semua bayang-bayang ibu dari kantor ini.
Pikiranku kosong. Tanpa kusadari, kakiku terus melangkah hingga akhirnya aku tersadar saat aku berada di depan halte kenanganku. Aku harus menemui Om Zio. Aku harus menanyakan keberadaan ibu. Atau jangan-jangan dia yang sengaja memisahkan aku dari ibu.
Keesokan harinya aku kembali ke perusahaan untuk meminta alamat Om Zio. Tak satupun karyawan yang mengetahui alamat pasti Om Zio. Aku terpaksa menunggu di depan gedung kantor sampai Om Zio pulang.
Saat langit mulai gelap, aku melihat Om Zio keluar. Aku memanggilnya dari jauh, ia sempat melihatku, namun ia kembali mengabaikanku dan langsung menaiki sebuah sedan hitam yang sudah menunggu. Aku menyetop taksi dan meminta supir taksi untuk mengikuti mobil Om Zio.
Tak sampai 20 menit, mobil Om Zio berhenti di sebuah rumah mewah. Aku turun dari taksi dan kembali memanggilnya. Kali ini walaupun terlihat agak bingung, ia membalas. Ia menanyakan keperluanku, tampaknya ia sama sekali tidak mengenaliku. Wajahnya sedikit berbeda dari ingatan terakhirku. Aku kembali menyapanya dengan panggilan lain.
“Ayah, ibu mana?”
Ia berhenti sejenak lalu raut wajah dan nada bicaranya berubah.
“Mimi? Bagaimana…? Untuk apa kamu mencari saya?! Fadil, usir perempuan!”
Seseorang berpakaian satpam datang menghampiriku dan memintaku pergi. Aku menolak dan berbalik mengejar Om Zio. Aku menarik lengannya, ia menepisku, dan aku terjatuh. Satpam tadi tidak berani mendekat. Aku meraih kaki Om Zio, aku berlutut di sampingnya.
“Om…, ibu mana?”
“Arghh…, minggir kamu! Ibumu itu tidak berguna. Pergi kamu! Ibu dan anak sama saja. Maunya bikin susah! Fadil!”
Ia mendorongku kuat. Aku kembali terjatuh. Satpam yang bernama Fadil itu langsung membantuku berdiri dan menarikku menjauhi majikannya.
“Fadil! Usir dia sejauh mungkin. Saya tidak mau melihat dia di sekitar sini. Mengerti!”
“Iya, Tuan.”
 “Om! Om Zio kejam! Om udah ngambil semua dari ibu! Om ngusir kami dari rumah kami sendiri! Bertahun-tahun aku tinggal di panti gara-gara Om! Sekarang Om juga mau pisahin aku sama ibu?!?! Om!!!”
Setelah berhasil menarikku keluar, satpam itu dengan segera menutup pagar dan menguncinya.
Aku kembali lagi pagi keesokan harinya, aku diusir oleh satpam penjaga rumah. Aku pergi ke kantornya, Om Zio juga sudah menyuruh penjaga di sana untuk tidak membiarkanku masuk. Esoknya, aku kembali mencoba menemui Om Zio, namun lagi-lagi aku diusir. Hal yang sama terjadi padaku selama empat hari berturu-turut.
Sampai hari kelima, atas bantuan temanku, Ratna, aku berhasil menemuinya di depan kantor. Om Zio juga tampak pasrah dengan perbuatanku.
“Apa maumu?”
“Aku mau bertemu ibu?”
Dia tertawa sinis.
“Untuk apa mencari ibumu? Kau sudah lama tak bertemu dengannya.”
“Maka itu…”
“Ibumu sudah lama mati.”
“Apa? Ibu meninggal? Tapi kenapa, Om?”
“Pada malam kalian meninggalkan rumah, dia kecelakaan. Dia tertabrak mobil saat menyebrang jalan. Hehh…, anak macam apa kamu? Ibumu kecelakaan, kau tidak tahu?”
“Ak…”
“Dua hari kemudian, pihak kepolisian mengantar ibumu pulang. Dia tidak mengenal siapapun. Dia cacat. Pendarahan otak. Om masih harus membayar orang untuk menjaganya. Ibumu benar-benar membuat orang susah. Enam tahun lalu, ibumu mati. Bayangkan berapa banyak uang yang harus Om keluarkan untuk perawatan ibumu?!”
“Om! Semua uang yang Om pakai itu, uang ibu! Ingat Om! Om masih bisa menikmati lebih dari itu dan Om bilang ibu udah nyusahin Om?”
“Ibumu sudah mati.  Dan sekarang kamu datang untuk menyusahkan Om lagi? Apa mau kamu? Uang?”
“Mimi nggak minta apapun. Karena dulu ibu percaya sama Om, semuanya Om ambil! Semua kepunyaan ibu, jatuh ke tangan kotor Om. Mimi cuma pengen tahu keadaan ibu. Mimi cuma punya ini Om. Mantel satu-satunya dari ibu, yang ibu kasih langsung ke Mimi. Itu pun udah lebih dari cukup.”
“Lalu apa? Kamu juga mau jadi parasit seperti ibu kamu?”
Om Zio pergi meninggalkan aku dan Ratna dan naik ke mobilnya. Aku hendak mengejarnya, tapi Ratna mencegahku.
“Sudahlah. Bahkan untuk jadi peliharaanku saja, kalian tidak pantas!”
Kata-kata terakhirnya membuatku putus asa. Dia sudah keterlaluan. Aku menepis cegatan Ratna untuk kembali mengejarnya. Tiba-tiba dari arah kananku datang sebuah mobil yang mengebut dari area parkir. Dalam sekejap aku terpelanting, tertabrak, oleh mobil itu. Aku merasakan kepalaku menghantam aspal. Sakit sekali. Sakitnya lebih dari ketika aku tahu harus menerima kenyataan bahwa aku harus tinggal di panti. Atau mungkin sama dengan sakit ketika lelaki brengsek itu mengatakan bahwa aku dan ibu bahkan tidak pantas untuk jadi peliharaannya.
Aku mendengar suara Ratna yang berteriak minta tolong. Mataku mulai kabur, perlahan menjadi gelap. Aku takut. Aku menggenggam erat mantel merah ibu. Ibu, aku takut. Gelap mulai menjadi hitam.


Ibu, aku akan segera menyusul ibu. Kita akan bersama lagi. Om Zio tidak akan bisa mengganggu kita. Kita akan hidup bahagia selamanya. Aku tahu ibu tidak meninggalkanku, setidaknya itu benar. Hari-hariku tanpa ibu berhasil kulalui. Aku sudah menjadi putri yang baik selama ibu tidak di sisiku. Sudah saatnya aku datang pada ibu untuk mendapat pujian. Aku sungguh rindu ibu. Ibu, tunggu aku di sana.

No comments:

Post a Comment