Friday, June 13, 2014

Cerpen II

Annyeong..! Ini nih, aku datang sebagai seorang penulis hari ini wkkwkkk. Ini tugas mengarangku waktu kelas 12. Kasi komentarnya yaaa ahahahh. Makasihh sayyy


“Melody, satu jam lagi kita on-air”, ujar kru belakang panggung dari balik pintu lalu menghilang lagi.
Aku berpaling kembali ke bayangan diriku dalam cermin di hadapanku. Seorang penata rias membantuku berias untuk tampil sempurna. Hari ini, tepat satu jam lagi, aku akan melakukan penampilan perdana alias debutku sebagai penyanyi solo. Aku akan melakukan yang terbaik, akan kutunjukkan bahwa semua pengorbanan ibu tidak sia-sia.

Dari aku berumur lima tahun, aku sudah bermimpi menjadi penyanyi solo tenar. Alasannya bukan materi karena walaupun ayahku meninggal muda bahkan sebelum aku lahir, beliau sudah menyiapkan dana yang cukup untuk menghidupi aku dan ibu. Alasaku ingin menjadi penyanyi hanyalah karena aku ingin berdiri di panggung dan bernyanyi untuk orang banyak dengan alunan irama dan lirik yang indah. Sejak saat itu, ibu selalu mendukungku dalam hal-hal yang menyangkut impianku itu. Ibu selalu mengingatkan, semua hal yang ingin kita capai usahakanlah dari nol. Begitu juga denganku, ibu selalu memotivasiku agar tetap berusaha untuk meniti anak tangga demi anak tangga sampai aku mencapai impian itu.

Ibu selalu mencari informasi tentang berbagai kontes menyanyi untuk aku ikuti. Aku ingat jelas saat umurku sembilan tahun, untuk perrtama kalinya ibu pulang dari kantor, dengan senyum merona di wajahnya, beliau berlari ke kamarku sambil membawa formulir kontes. Ibu tidak segan-segan mengeluarkan dana untuk pendaftaran kontes-kontes yang kuikuti. Kasih sayang ibu tetap ditunjukkan melalui dukungan moral bukannya secara materi.

Selama delapan tahun aku mengikuti kontes-kontes menyanyi dan sudah puluhan piala kudapatkan. Seiring dengan berjalannya waktu, kemampuanku juga terus terasah. Dengan adanya prestasi itu, ibu mengizinkanku mengikuti audisi pencarian bakat yang mencari bibit-bibit berbakat yang akan diberikan pelatihan selama beberapa waktu sebelum diorbitkan sebagai penyanyi. Namun, kesempatan seperti ini sangat sulit didapatkan karena biasanya pengumuman pelaksanaan audisi tidak akan diumumkan secara luas. Jika ibu mendengar kabar burung bahwa akan ada pelaksanaan audisi, sisa hari ibu akan dihabiskan di depan laptop. Seharian ibu akan mencarikan informasinya untukku. Bagi sebagian orang, ini hanyalah hal yang sepele tapi bagi orang-orang yang memiliki orang tua tunggal sepertiku, mereka akan dengan mudah merasakan yang kurasakan, perhatian dan dukungan dari seorang ibu.

Beberapa kali aku iktu audisi, beberapa kali juga aku gagal. Aku sempat merasa rendah diri, namun kehadiran ibu membuatku bangkit lagi. Hangatnya pelukan ibu selalu menyegarkan pikiran yang penat, membuatku sadar bahwa masih ada jalan yang dapat kutelusuri. Asalkan ada ibu di sisiku, aku tidak perlu khawatir karena satu-satunya orang yang akan berjuang bersamaku sampai aku berhasil menjadi impianku adalah ibu.

Dua tahun yang lalu, seorang produser rekaman menelepon ibu dan memberitahukan bahwa aku lolos audisi. Beliau meminta kami menemuinya untuk penandatanganan kontrak. Lepas itu, ibu bergegas membantuku menyiapkan perlengkapan yang akan kubutuhkan selama masa pelatihan. Ibu sempat menitikkan air mata saking bahagianya. Akhirnya aku dapat melangkah selangkah lebih dekat lagi menuju impianku. Sebelum kami berangkat, sekali lagi, ibu memberiku senyuman teindah yang pernah kulihat dan pelukan hangatnya untuk menyemangatiku.

Kami dijemput oleh utusan Pak Harry, calon produserku. Dengan mobil perusahaan, kami melaju ke tempat di mana impianku akan terwujud. Di perjalanan, tepatnya di area jalan tol, kami akhirnya tidak bisa melawan takdir. Dari arah berlawanan, datang sebuah mobil yang melaju dengan kencang, namun terlihat kehilangan kendali. Dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut menabrak pembatas jalan dan langsung terseret hingga menutupi jalan kami. Naas, mobil kami tidak sempat menghindar. Keadaan diperparah dengan tabrakan dahsyat dari mobil lain di belakang kami yang juga tidak sempat mengerem. Kurasakan tubuhku terdorong ke depan hingga aku tergencet ke jok di depanku. Rasa sakit yang laur biasa menggerogotiku dan dalam sekejap semuanya berubah hitam. Hal terakhir yang kuingat adalah suara ibu, ibu yang meringis, meringis kesakitan sambil memanggil-manggil namaku.

“Mel, Melody, Melody, bertahan, Nak. Ibu akan menolongmu.”

Aku sadar hampir dua minggu setelah kejadian. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dinding bercat putih, tirai jendela warna krem lembut, monitor denggan grafik naik-turun dan aroma alkohol di mana-mana.

“Ibu, Ibu, Ibu di mana?”

Seorang perawat yang sedang berkeliling menghampiriku dengan wajah berseri-seri. Ia memintaku untuk tidak banyak bergerak sementara ia akan memanggil dokter. Aku menurutinya dan sebaliknya pikirankulah yang tidak bersedia diam. Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya aku sedang berlatih di agensi? Di mana ibu? Berbagai pertanyaan berkelut di benakku.

Tak lama kemudian, seorang dokter dan dua orang perawat datang menghampiriku. Kedua perawat segera melakukan tugas masing-masing tanpa dikomandoi sementara sang dokter menanyakan beberapa pertanyaan untuk mengecek keadaan dan kesadaranku.

“Apakah kamu ingat tentang kecelakaan yang terjadi?”

Aku berpikir sejenak dan ingatan kejadian itu berkelibat dengan jelas. Suara ban berdecit, tabrakan, teriakan, klakson, semuanya teringat dengan jelas.

“Di mana? Di mana dua orang yang lain?”

“Mereka baik-baik saja.”

“Tolong panggilkan ibuku. Apakah ibuku terluka parah?”

“Tidak. Sekarang beliau sedang istirahat. Beliau akan senang melihatmu sadar. Kamu baru menjalani operasi beberapa hari yang lalu. Istirahatlah.”

“Operasi?”

Sang dokter tidak lagi menyahutku dan malah berbalik badan meninggalkan ruangan. Selama beberapa hari setelah aku sadar, tidak sekalipun ibu mengunjungiku. Saat kutanya pada dokter, beliau selalu menghindar. Produserku Harry juga tidak luput dari pertanyaanku, namun jawabannya juga selalu menghindar. Produser Harry hanya tahu memintaku untuk berristirahat dan segera sembuh agar aku bisa memulai masa pelatihanku.
Satu minggu setelah aku siuman, peralatan penunjang sudah dilepas dari tubuhku seluruhnya. Aku harus mulai belajar mengandalkan tubuh pasca-operasiku. Setelah semua peralatan dilepas, aku baru menyadari bahwa nyeri yang kurasakan seminggu ini berasal dari jahitan di bagian dada. Produser Harry mengatakan bahwa sebenarnya aku hampir tewas dalam kecelakaan itu. Hantaman keras membuat salah satu rusukku menancap ke jantungku. Sementara ibu terluka pada lututnya, pria yang menjemput kami hanya terluka pada dahi dan beberapa bagian lainnya akibat pecahan kaca mobil. Beliau menambahkan bahwa aku berada di ambang maut selama tiga hari tanpa operasi karena permohonan ibu, tetapi akhirnya ibu menyetujui pelaksaan operasi.

Sebelum meninggalkan ruangan, Produser Harry menyerahkan sebuah amplop dokumen padaku. Beliau memintaku untuk melihat sendiri, dan beliau menepuk bahuku sambil tersenyum. Aku membuka amplop itu dengan perasaan tidak menentu. Kertas pertama yang kulihat adalah potongan koran dengan foto sebuah mobil yang ringsek parah di bagian kiri. Aku mengenali plat mobil itu.

Aku segera membaca laporan beritnaya dengan cermat. Tertulis bahwa penyebab kecelakaan itu murni ketidaksengajaan. Pengendara mobil yang menabrak pembatas jalan ternyata mengalami serangan jantung sehingga kehilangan kendali atas mobilnya.

Aku mengeluarkan kertas lainnya dan melihat tulis tangan ibu di atasnya.

Anak ibu sudah bangun? Kamu memang hebat. Ibu tahu kamu akan bertahan. Apa kamu tahu seberapa cemas ibu? Ibu sangat takut kehilanganmu. Kulitmu berubah pucat di bawah sinar matahari. Berkali-kali ibu memanggilmu, tapi kamu Melody tidak menyahuti ibu seperti biasa. Saat dokter bilang rusukmu menusuk jantungmu, dan meminta ibu menyetujui operasi yang belum jelas hasilnya akan bagaimana, ibu menolak keras. Tapi , membairkan keadaan ini terus-menerus juga bukan solusi. Hidupmu terkatung-katung. Hidupmu tidka boleh berhenti di sini. Kamu baru akan menapaki anak tangga terakhir. Impian Melody tinggal di depan mata. Ibu pikir, inilah hidup. Ibu tidak bisa hanya diam dan melihatmu terbaring di ranjang seperti ini. Ini ibu, ibu akan melindungimu, jangan takut. Tidak akan ada donor jantung dalam waktu sesempit ini. Ada ibu, ibu Melody, Melody adalah tanggung jawab ibu. Ibu bersedia memberikan jantung ibu. Jangan marah kepada mereka yang tidka memberitahumu tentang hal ini, ibu yang meminta mereka untuk bungkam sampai kamu pulih. Mereka bisa saja menghentikan ibu, namun tidak akan ada yang bisa menghalangi kasih seorang ibu pada buah hatinya. Ibu melihat kegigihanmu. Ibu rela mati demi Melody. Ibu rela melakukan apa saja untuk memohon pada mereka supaya mereka bersedia mengambil jantung ibu dan memberikannya padamu. Melody harus tetap hidup walaupun itu berarti ibu akan meninggalkan dunia ini. Jantung ini adalah kasih terbesar ibu. Ibu bangga bisa berkorban untuk anak ibu, memberikan kehidupan untuknya, lebih bangga daripada saat ibu berjuang sendiri tanpa ayahmu di sisi ibu saat ibu mempertaruhkan nyawa untuk melahirkanmu. Jangan sedih berlarut-larut sehingga membuatmu semakin jauh dari impianmu. Ibu ingin punya kesempatan untuk menjadi orang pertama yang melihatmu sadar, mengutarakan semua isi hati ibu langsung, tapi sekarang ibu sudah tidak berada di sisimu lagi. Maaf, ibu tidak bisa menepati janji ibu untuk berjuang bersama, tidak bisa berada di kursi penonton terdepan saat kamu debut, tidak bisa merayakan keberhasilanmu, tidak bisa memberimu pelukan hangat saat kamu lelah dengan kenyataan. Mulai saat ini, berjuanglah sendiri, jangan takut untuk menghadapi masalah. Ingat kata-kata yang selalu ibu bilang, ibu akan selau mendoakanmu dari tempat yang jauh. Walaupun sekarang kita ada di tempat yang berbeda, ingat bahwa sebagian dari ibu masih ada bersama Melody. Semua kenangan kita akan ibu bawa terus bersama ibu. Ibu sayang Melody.
Ibu


Aku mendapati air mataku telah membasahi surat dari ibu. Pada awalnya sulit bagiku untuk menerima kenyataan ibulah yang memberikan jantungnya untukku, apalagi demi melakukannya, ibu rela mengorbankan nyawa. Sejak saat itu, aku bertekad untuk tetap maju. Produserku juga tetap bersedia memberikan pelatihan untukku. Setelah melewati tiga masa pemulihan, akhirnya aku menjalani masa pelatihan yang melelahkan selama hampir dua tahun.

Ibu sudah mengorbankan nyawanya untukku. Ibu ingin aku meneruskan perjuanganku. Ibu benar, walaupun ibu tidak bisa berada di sisiku secara fisik, jantung ibu masih tetap berdetak, dalam tubuhku. Kehangatan ibu selalu menemaniku, mendorongku untuk terus maju. Kasih sayang dan pengorbanannya masih ada bersamaku sampai hari ini, dalam jantung hatiku.

“Melody, debut stage, ten minutes. Stand-by!”

Seorang kru belakang panggung melakukan pemberitahuan terakhir yang terdengar seperti sebuah dukungan bagiku. Aku beranjak dari tempat dudukku, menyambut mic yang disodorkannya, dan melangkah mantap meninggalkan ruang make-up menuju panggung impianku.

“Terima kasih, Ibu. Andai saja aku bisa melihat ibu tersenyum padaku.”

No comments:

Post a Comment