Annyeong..! Ini nih, aku datang sebagai seorang penulis hari ini wkkwkkk. Ini tugas mengarangku waktu kelas 12. Kasi komentarnya yaaa ahahahh. Makasihh sayyy
“Melody, satu jam lagi
kita on-air”, ujar kru belakang panggung dari balik pintu lalu menghilang lagi.
Aku berpaling kembali
ke bayangan diriku dalam cermin di hadapanku. Seorang penata rias membantuku
berias untuk tampil sempurna. Hari ini, tepat satu jam lagi, aku akan melakukan
penampilan perdana alias debutku sebagai penyanyi solo. Aku akan melakukan yang
terbaik, akan kutunjukkan bahwa semua pengorbanan ibu tidak sia-sia.
Dari aku berumur lima
tahun, aku sudah bermimpi menjadi penyanyi solo tenar. Alasannya bukan materi
karena walaupun ayahku meninggal muda bahkan sebelum aku lahir, beliau sudah
menyiapkan dana yang cukup untuk menghidupi aku dan ibu. Alasaku ingin menjadi
penyanyi hanyalah karena aku ingin berdiri di panggung dan bernyanyi untuk orang
banyak dengan alunan irama dan lirik yang indah. Sejak saat itu, ibu selalu
mendukungku dalam hal-hal yang menyangkut impianku itu. Ibu selalu
mengingatkan, semua hal yang ingin kita capai usahakanlah dari nol. Begitu juga
denganku, ibu selalu memotivasiku agar tetap berusaha untuk meniti anak tangga
demi anak tangga sampai aku mencapai impian itu.
Ibu selalu mencari
informasi tentang berbagai kontes menyanyi untuk aku ikuti. Aku ingat jelas
saat umurku sembilan tahun, untuk perrtama kalinya ibu pulang dari kantor,
dengan senyum merona di wajahnya, beliau berlari ke kamarku sambil membawa
formulir kontes. Ibu tidak segan-segan mengeluarkan dana untuk pendaftaran
kontes-kontes yang kuikuti. Kasih sayang ibu tetap ditunjukkan melalui dukungan
moral bukannya secara materi.
Selama delapan tahun
aku mengikuti kontes-kontes menyanyi dan sudah puluhan piala kudapatkan.
Seiring dengan berjalannya waktu, kemampuanku juga terus terasah. Dengan adanya
prestasi itu, ibu mengizinkanku mengikuti audisi pencarian bakat yang mencari
bibit-bibit berbakat yang akan diberikan pelatihan selama beberapa waktu sebelum
diorbitkan sebagai penyanyi. Namun, kesempatan seperti ini sangat sulit
didapatkan karena biasanya pengumuman pelaksanaan audisi tidak akan diumumkan
secara luas. Jika ibu mendengar kabar burung bahwa akan ada pelaksanaan audisi,
sisa hari ibu akan dihabiskan di depan laptop. Seharian ibu akan mencarikan
informasinya untukku. Bagi sebagian orang, ini hanyalah hal yang sepele tapi
bagi orang-orang yang memiliki orang tua tunggal sepertiku, mereka akan dengan
mudah merasakan yang kurasakan, perhatian dan dukungan dari seorang ibu.
Beberapa kali aku iktu
audisi, beberapa kali juga aku gagal. Aku sempat merasa rendah diri, namun
kehadiran ibu membuatku bangkit lagi. Hangatnya pelukan ibu selalu menyegarkan
pikiran yang penat, membuatku sadar bahwa masih ada jalan yang dapat
kutelusuri. Asalkan ada ibu di sisiku, aku tidak perlu khawatir karena
satu-satunya orang yang akan berjuang bersamaku sampai aku berhasil menjadi impianku
adalah ibu.
Dua tahun yang lalu,
seorang produser rekaman menelepon ibu dan memberitahukan bahwa aku lolos
audisi. Beliau meminta kami menemuinya untuk penandatanganan kontrak. Lepas
itu, ibu bergegas membantuku menyiapkan perlengkapan yang akan kubutuhkan
selama masa pelatihan. Ibu sempat menitikkan air mata saking bahagianya.
Akhirnya aku dapat melangkah selangkah lebih dekat lagi menuju impianku.
Sebelum kami berangkat, sekali lagi, ibu memberiku senyuman teindah yang pernah
kulihat dan pelukan hangatnya untuk menyemangatiku.
Kami dijemput oleh
utusan Pak Harry, calon produserku. Dengan mobil perusahaan, kami melaju ke
tempat di mana impianku akan terwujud. Di perjalanan, tepatnya di area jalan
tol, kami akhirnya tidak bisa melawan takdir. Dari arah berlawanan, datang
sebuah mobil yang melaju dengan kencang, namun terlihat kehilangan kendali.
Dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut menabrak pembatas jalan dan langsung
terseret hingga menutupi jalan kami. Naas, mobil kami tidak sempat menghindar.
Keadaan diperparah dengan tabrakan dahsyat dari mobil lain di belakang kami
yang juga tidak sempat mengerem. Kurasakan tubuhku terdorong ke depan hingga
aku tergencet ke jok di depanku. Rasa sakit yang laur biasa menggerogotiku dan
dalam sekejap semuanya berubah hitam. Hal terakhir yang kuingat adalah suara
ibu, ibu yang meringis, meringis kesakitan sambil memanggil-manggil namaku.
“Mel, Melody, Melody,
bertahan, Nak. Ibu akan menolongmu.”
Aku sadar hampir dua
minggu setelah kejadian. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dinding bercat
putih, tirai jendela warna krem lembut, monitor denggan grafik naik-turun dan
aroma alkohol di mana-mana.
“Ibu, Ibu, Ibu di
mana?”
Seorang perawat yang
sedang berkeliling menghampiriku dengan wajah berseri-seri. Ia memintaku untuk
tidak banyak bergerak sementara ia akan memanggil dokter. Aku menurutinya dan
sebaliknya pikirankulah yang tidak bersedia diam. Apa yang terjadi? Bukankah
seharusnya aku sedang berlatih di agensi? Di mana ibu? Berbagai pertanyaan
berkelut di benakku.
Tak lama kemudian,
seorang dokter dan dua orang perawat datang menghampiriku. Kedua perawat segera
melakukan tugas masing-masing tanpa dikomandoi sementara sang dokter menanyakan
beberapa pertanyaan untuk mengecek keadaan dan kesadaranku.
“Apakah kamu ingat tentang
kecelakaan yang terjadi?”
Aku berpikir sejenak
dan ingatan kejadian itu berkelibat dengan jelas. Suara ban berdecit, tabrakan,
teriakan, klakson, semuanya teringat dengan jelas.
“Di mana? Di mana dua
orang yang lain?”
“Mereka baik-baik
saja.”
“Tolong panggilkan
ibuku. Apakah ibuku terluka parah?”
“Tidak. Sekarang
beliau sedang istirahat. Beliau akan senang melihatmu sadar. Kamu baru
menjalani operasi beberapa hari yang lalu. Istirahatlah.”
“Operasi?”
Sang dokter tidak lagi
menyahutku dan malah berbalik badan meninggalkan ruangan. Selama beberapa hari
setelah aku sadar, tidak sekalipun ibu mengunjungiku. Saat kutanya pada dokter,
beliau selalu menghindar. Produserku Harry juga tidak luput dari pertanyaanku,
namun jawabannya juga selalu menghindar. Produser Harry hanya tahu memintaku
untuk berristirahat dan segera sembuh agar aku bisa memulai masa pelatihanku.
Satu minggu setelah
aku siuman, peralatan penunjang sudah dilepas dari tubuhku seluruhnya. Aku
harus mulai belajar mengandalkan tubuh pasca-operasiku. Setelah semua peralatan
dilepas, aku baru menyadari bahwa nyeri yang kurasakan seminggu ini berasal
dari jahitan di bagian dada. Produser Harry mengatakan bahwa sebenarnya aku
hampir tewas dalam kecelakaan itu. Hantaman keras membuat salah satu rusukku
menancap ke jantungku. Sementara ibu terluka pada lututnya, pria yang menjemput
kami hanya terluka pada dahi dan beberapa bagian lainnya akibat pecahan kaca
mobil. Beliau menambahkan bahwa aku berada di ambang maut selama tiga hari
tanpa operasi karena permohonan ibu, tetapi akhirnya ibu menyetujui pelaksaan
operasi.
Sebelum meninggalkan
ruangan, Produser Harry menyerahkan sebuah amplop dokumen padaku. Beliau
memintaku untuk melihat sendiri, dan beliau menepuk bahuku sambil tersenyum.
Aku membuka amplop itu dengan perasaan tidak menentu. Kertas pertama yang
kulihat adalah potongan koran dengan foto sebuah mobil yang ringsek parah di
bagian kiri. Aku mengenali plat mobil itu.
Aku segera membaca
laporan beritnaya dengan cermat. Tertulis bahwa penyebab kecelakaan itu murni
ketidaksengajaan. Pengendara mobil yang menabrak pembatas jalan ternyata
mengalami serangan jantung sehingga kehilangan kendali atas mobilnya.
Aku mengeluarkan
kertas lainnya dan melihat tulis tangan ibu di atasnya.
Anak ibu sudah
bangun? Kamu memang hebat. Ibu tahu kamu akan bertahan. Apa kamu tahu seberapa
cemas ibu? Ibu sangat takut kehilanganmu. Kulitmu berubah pucat di bawah sinar
matahari. Berkali-kali ibu memanggilmu, tapi kamu Melody tidak menyahuti ibu
seperti biasa. Saat dokter bilang rusukmu menusuk jantungmu, dan meminta ibu
menyetujui operasi yang belum jelas hasilnya akan bagaimana, ibu menolak keras.
Tapi , membairkan keadaan ini terus-menerus juga bukan solusi. Hidupmu
terkatung-katung. Hidupmu tidka boleh berhenti di sini. Kamu baru akan menapaki
anak tangga terakhir. Impian Melody tinggal di depan mata. Ibu pikir, inilah
hidup. Ibu tidak bisa hanya diam dan melihatmu terbaring di ranjang seperti
ini. Ini ibu, ibu akan melindungimu, jangan takut. Tidak akan ada donor jantung
dalam waktu sesempit ini. Ada ibu, ibu Melody, Melody adalah tanggung jawab
ibu. Ibu bersedia memberikan jantung ibu. Jangan marah kepada mereka yang tidka
memberitahumu tentang hal ini, ibu yang meminta mereka untuk bungkam sampai kamu
pulih. Mereka bisa saja menghentikan ibu, namun tidak akan ada yang bisa
menghalangi kasih seorang ibu pada buah hatinya. Ibu melihat kegigihanmu. Ibu
rela mati demi Melody. Ibu rela melakukan apa saja untuk memohon pada mereka
supaya mereka bersedia mengambil jantung ibu dan memberikannya padamu. Melody
harus tetap hidup walaupun itu berarti ibu akan meninggalkan dunia ini. Jantung
ini adalah kasih terbesar ibu. Ibu bangga bisa berkorban untuk anak ibu,
memberikan kehidupan untuknya, lebih bangga daripada saat ibu berjuang sendiri
tanpa ayahmu di sisi ibu saat ibu mempertaruhkan nyawa untuk melahirkanmu.
Jangan sedih berlarut-larut sehingga membuatmu semakin jauh dari impianmu. Ibu
ingin punya kesempatan untuk menjadi orang pertama yang melihatmu sadar,
mengutarakan semua isi hati ibu langsung, tapi sekarang ibu sudah tidak berada
di sisimu lagi. Maaf, ibu tidak bisa menepati janji ibu untuk berjuang bersama,
tidak bisa berada di kursi penonton terdepan saat kamu debut, tidak bisa
merayakan keberhasilanmu, tidak bisa memberimu pelukan hangat saat kamu lelah
dengan kenyataan. Mulai saat ini, berjuanglah sendiri, jangan takut untuk
menghadapi masalah. Ingat kata-kata yang selalu ibu bilang, ibu akan selau
mendoakanmu dari tempat yang jauh. Walaupun sekarang kita ada di tempat yang
berbeda, ingat bahwa sebagian dari ibu masih ada bersama Melody. Semua kenangan
kita akan ibu bawa terus bersama ibu. Ibu sayang Melody.
Ibu
Aku mendapati air
mataku telah membasahi surat dari ibu. Pada awalnya sulit bagiku untuk menerima
kenyataan ibulah yang memberikan jantungnya untukku, apalagi demi melakukannya,
ibu rela mengorbankan nyawa. Sejak saat itu, aku bertekad untuk tetap maju.
Produserku juga tetap bersedia memberikan pelatihan untukku. Setelah melewati
tiga masa pemulihan, akhirnya aku menjalani masa pelatihan yang melelahkan
selama hampir dua tahun.
Ibu sudah mengorbankan
nyawanya untukku. Ibu ingin aku meneruskan perjuanganku. Ibu benar, walaupun
ibu tidak bisa berada di sisiku secara fisik, jantung ibu masih tetap berdetak,
dalam tubuhku. Kehangatan ibu selalu menemaniku, mendorongku untuk terus maju.
Kasih sayang dan pengorbanannya masih ada bersamaku sampai hari ini, dalam
jantung hatiku.
“Melody, debut
stage, ten minutes. Stand-by!”
Seorang kru belakang
panggung melakukan pemberitahuan terakhir yang terdengar seperti sebuah
dukungan bagiku. Aku beranjak dari tempat dudukku, menyambut mic yang
disodorkannya, dan melangkah mantap meninggalkan ruang make-up menuju
panggung impianku.
“Terima kasih, Ibu.
Andai saja aku bisa melihat ibu tersenyum padaku.”
No comments:
Post a Comment