Thursday, June 12, 2014

Gimana benarnyaa? -the second-


Annyeong >w<
Aku datang membawa kebahagiaan dan sambungan cerita postingan lalu !!
 Ready ! Set ! Go !

Tiga tahun di SMA, saya banyak memperhatikan interaksi guru-murid di sekolah. Guru-guru yang lebih senior (yang rentang usianya jauh beda dengan kami) bersikap disiplin dan memaparkan semua aturan yang diinginkan selama jam mata pelajarannya berlangsung. Sementara guru-guru yang lebih muda bersikap lebih terbuka pada kami, mengajar dengan lebih santai dan menciptakan sebuah kesan bahwa mereka ada di sana untuk membantu kami belajar, bukannya untuk mengajari kami. Sebut saja guru senior sebagai guru tipe A dan guru yang lebih muda sebagai guru tipe B dan saya membuat poin-poin kesimpulan saya sendiri serta saya juga menilai positif-negatif1 masing-masing tipe menurut pandangan saya2:

Guru tipe A
Guru tipe B
Terkekang dengan aturan
Tidak merasa terkekang aturan tapi tetap terarah
Guru-murid memiliki jarak
Guru-murid lebih dekat
Suasana kelas tegang
Suasana kelas santai
Semua tugas diterima dan selesai tepat waktu
Ada tawar-menawar tugas -tetapi pada akhirnya kami tetap kalah dan semua menyelesaikan tugas tepat waktu-
Disiplin
Terkadang terjadi ‘tarik ulur’
Overall: semua taget terkejar karena sesuai perencanaan guru
Overall: semua target tetap terkejar walaupun terkadang agak telat dari perencanaan guru
1  Warna merah-negatif ; warna biru-positif
2 Saya sendiri tidak berani melakukan generalisasi kesimpulan di atas karena harus saya akui kesimpulan di atas bisa saja dipengaruhi oleh keadaan kelas kami yang merupakan kelas ‘unggulan’

Guru tipe A juga membuat saya dan teman-teman agak malas. Kami memang mengerjalan tugas dan lainnya, tapi semua itu terasa sangat terpaksa. Masing-masing dari kami tahu bahwa guru kami bertindak demikian adalah untuk kebaikan kami, namun tetap saja proses belajar membuat kami merasa berat dan malas untuk belajar. Sementara guru tipe B membuat kami bersemangat dan membuat kami merasa ‘Belajar? Oke. Ayo’ dan belajar dengan keadaan seperti ini terasa jauh lebih mudah daripada saat merasa terpaksa.
Sesuai dengan pengalaman saya tersebut, saya mengubah pikiran saya untuk membuat para murid segan. Saya yakin untuk anak SD, hal ini penting untuk dilakukan, dan mungkin masih efektif jika diterapkan pada anak SMP. Dengan perbedaan usia saya dan murid yang hanya tiga tahun, saya berpikiran untuk menjadi teman yang membantu mereka belajar.

Saya menghindari memaparkan aturan dan ekspektasi saya kepada mereka dengan tujuan agar mereka tidak ‘kaget’ dan malah pasif di kelas. Beberapa pertemuan berjalan sesuai harapan saya. Kurang lebih minggu ketiga di kelas tersebut, saya mendapat seorang murid SMP pindahan dari guru lain. Berhubung hanya satu murid, mungkin tidak perlu saya terapkan strategi ‘harus segan’, biarkan saja dulu. Beberapa minggu kemudian saya mendapat lima murid SMP dari guru lain lagi. Di hari pertama mengajar mereka, kelimanya terlihat kalem dan lagi-lagi saya termakan buaian ‘biarkan’ , tapi ternyata di sinilah letak kesalahan saya terjadi; tidak memaparkan aturan; I missed the most crucial point. Minggu pertama, aman. Minggu kedua, mulai mengulah. Minggu ketiga, keluar jati diri aslinya. Bayangkan enam anak SMP yang tidak dibuat kaget sejak awal, mengacau, sulit diatur, terlalu banyak tawar-menawar. Kelas berjalan statis, waktu belajar tidak maksimal, dan hasilnya adalah dua jam yang sia-sia.

Diam-diam saya memperhatikan guru yang lain. Saya belajar beberapa trik; suara lantang, sorot mata tajam, pemberian hukuman ringan sampai berat. Yaaa… walaupun tidak mungkin bisa membuat mereka segan lagi karena mereka sudah tahu kelemahan saya, setidaknya saya bisa membuat mereka ‘jinak’.

Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa tidak pada semua kelas bisa dihilangkan poin strategi disiplinnya. Di saat strategi proaktif preventif hendak diterapkan, make sure bahwa aturan wajib dikemukakan sebelum guru kehilangan kendali. Taktik proaktif tetap bisa teratur dengan adanya aturan dan prosedur yang mantap, jika tidak maka keadaan kelas akan di luar kontrol. Taktik disiplin terlalu keras dna membuat tidak nyaman, namun taktik ini juga diperlukan untuk menertibkan murid-murid yang sulit diatur. So, sangatlah penting bagi seorang guru untuk bisa memperkirakan keadaan kelas sehingga dapat diterapkan taktik yang paling cocok.



No comments:

Post a Comment