Annyeong >w<
Aku datang membawa kebahagiaan dan sambungan cerita postingan lalu !!
Ready ! Set ! Go !
Tiga tahun di SMA, saya banyak memperhatikan interaksi guru-murid di
sekolah. Guru-guru yang lebih senior (yang rentang usianya jauh beda dengan
kami) bersikap disiplin dan memaparkan semua aturan yang diinginkan selama jam
mata pelajarannya berlangsung. Sementara guru-guru yang lebih muda bersikap
lebih terbuka pada kami, mengajar dengan lebih santai dan menciptakan sebuah
kesan bahwa mereka ada di sana untuk membantu kami belajar, bukannya untuk
mengajari kami. Sebut saja guru senior sebagai guru tipe A dan guru yang lebih
muda sebagai guru tipe B dan saya membuat poin-poin kesimpulan saya sendiri
serta saya juga menilai positif-negatif1 masing-masing tipe menurut
pandangan saya2:
Guru tipe A
|
Guru tipe B
|
Terkekang dengan aturan
|
Tidak merasa terkekang
aturan tapi tetap terarah
|
Guru-murid memiliki jarak
|
Guru-murid lebih dekat
|
Suasana kelas tegang
|
Suasana kelas santai
|
Semua tugas diterima
dan selesai tepat waktu
|
Ada tawar-menawar tugas -tetapi pada akhirnya kami tetap kalah dan semua
menyelesaikan tugas tepat waktu-
|
Disiplin
|
Terkadang terjadi ‘tarik
ulur’
|
Overall: semua taget
terkejar karena sesuai perencanaan guru
|
Overall: semua target
tetap terkejar walaupun terkadang agak telat dari perencanaan guru
|
1 Warna merah-negatif ; warna
biru-positif
2 Saya sendiri tidak
berani melakukan generalisasi kesimpulan di atas karena harus saya akui
kesimpulan di atas bisa saja dipengaruhi oleh keadaan kelas kami yang merupakan
kelas ‘unggulan’
Guru tipe A juga membuat saya dan teman-teman agak malas. Kami memang
mengerjalan tugas dan lainnya, tapi semua itu terasa sangat terpaksa.
Masing-masing dari kami tahu bahwa guru kami bertindak demikian adalah untuk
kebaikan kami, namun tetap saja proses belajar membuat kami merasa berat dan
malas untuk belajar. Sementara guru tipe B membuat kami bersemangat dan membuat
kami merasa ‘Belajar? Oke. Ayo’ dan belajar dengan keadaan seperti ini terasa
jauh lebih mudah daripada saat merasa terpaksa.
Sesuai dengan pengalaman saya tersebut, saya mengubah pikiran saya untuk
membuat para murid segan. Saya yakin untuk anak SD, hal ini penting untuk
dilakukan, dan mungkin masih efektif jika diterapkan pada anak SMP. Dengan perbedaan
usia saya dan murid yang hanya tiga tahun, saya berpikiran untuk menjadi teman
yang membantu mereka belajar.
Saya menghindari memaparkan aturan dan ekspektasi saya kepada mereka dengan
tujuan agar mereka tidak ‘kaget’ dan malah pasif di kelas. Beberapa pertemuan
berjalan sesuai harapan saya. Kurang lebih minggu ketiga di kelas tersebut,
saya mendapat seorang murid SMP pindahan dari guru lain. Berhubung hanya satu
murid, mungkin tidak perlu saya terapkan strategi ‘harus segan’, biarkan saja
dulu. Beberapa minggu kemudian saya mendapat lima murid SMP dari guru lain
lagi. Di hari pertama mengajar mereka, kelimanya terlihat kalem dan lagi-lagi
saya termakan buaian ‘biarkan’ , tapi ternyata di sinilah letak kesalahan saya
terjadi; tidak memaparkan aturan; I missed the most crucial point. Minggu
pertama, aman. Minggu kedua, mulai mengulah. Minggu ketiga, keluar jati diri
aslinya. Bayangkan enam anak SMP yang tidak dibuat kaget sejak awal, mengacau,
sulit diatur, terlalu banyak tawar-menawar. Kelas berjalan statis, waktu
belajar tidak maksimal, dan hasilnya adalah dua jam yang sia-sia.
Diam-diam saya memperhatikan guru yang lain. Saya belajar beberapa trik;
suara lantang, sorot mata tajam, pemberian hukuman ringan sampai berat. Yaaa…
walaupun tidak mungkin bisa membuat mereka segan lagi karena mereka sudah tahu
kelemahan saya, setidaknya saya bisa membuat mereka ‘jinak’.
Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa tidak pada semua kelas bisa
dihilangkan poin strategi disiplinnya. Di saat strategi proaktif preventif
hendak diterapkan, make sure bahwa aturan wajib dikemukakan sebelum guru
kehilangan kendali. Taktik proaktif tetap bisa teratur dengan adanya aturan dan
prosedur yang mantap, jika tidak maka keadaan kelas akan di luar kontrol.
Taktik disiplin terlalu keras dna membuat tidak nyaman, namun taktik ini juga
diperlukan untuk menertibkan murid-murid yang sulit diatur. So, sangatlah
penting bagi seorang guru untuk bisa memperkirakan keadaan kelas sehingga dapat
diterapkan taktik yang paling cocok.
No comments:
Post a Comment